Category: Art & History


Konsep Manunggaling Kawula Gusti
Oleh : Setya Amrih Prasaja, S.S.

1. Pendahuluan
Pada dasarnya sebuah kebudayaan mempunyai caranya sendiri dalam
memandang alam dan seisinya. Baik itu memandang secara makro (besar) maupun
mikro (kecil) lingkungan dimana ia hidup. Hal senada pun dapat ditemukan dalam
struktur pola pikir masyarakat Jawa yang penuh dengan simbol-simbol itu.
Simbolisme bagi orang Jawa dianggap sebagai suatu yang sangat penting,
agar dapat memahami komunikasi yang penuh dengan bahasa isyarat. Bahasa Jawa
yang penuh dengan kembang, lambang dan sinamung samudana atau tersembunyi
dalam kiasan harus dibahas dan dikupas dengan perasaan yang dalam serta
tanggaping sasmitha atau dapat menangkap maksud sebenarnya yang tersembunyi1.
Untuk bisa lebih jauh kita mengerti bagaimana cara pandang dan berpikir
orang Jawa mau tidak mau kita harus mengenal istilah yang sangat populer di
kalangan masyarakat apalagi untuk seorang ahli kebatinan yaitu “kejawen”.
Terjemahan kamus umum untuk kejawen atau kejawaan dalam bahasa indonesia
adalah “kejawaan” dan “Jawanisme”. Kata yang terakhir ini menjadi sebutan
deskriptif bagi elemen-elemen kebudayaan Jawa yang dianggap Jawa secara hakiki
dan hal itu didefinisikan sebagai suatu kategori unik2.
1 Budiono (1984;86).
2 Niels Mulder (2001 ; 2).
http://www.smada-zobo.jimdo.com | 2
Jawanisme, atau kejawen, bukanlah suatu kategori religiusitas. Namun lebih
menunjuk pada sebuah etika dan sebuah gaya hidup yang diilhami oleh pemikiran
Jawa3. Penganut aliran ini mempunyai cara pikir sendiri dalam mengaktualisasikan
diri mereka baik dalam hubungannya dengan sesama manusia, Tuhan, maupun
makhluk ciptaannya yang lain. Sejalan dengan itu pemikiran kejawen ini
berkembang luas meliputi kosmologi, mitologi. Salah satunya adalah konsepsi mistis
Manunggaling kawula kalawan Gusti. Dan selalu dibawah pemahaman sepi ing
pamrih atau iklas. Karena paham ini bukanlah sebuah paham dogmatis tentang agama,
maka paham ini selalu membayang pada setiap ritual keagamaan masyarakat Jawa
dengan latar belakang kepercayaan apapun yang dianutnya.
2. Pengertian secara umum
Konsepsi Manunggaling Kawula Gusti ini muncul seiring dengan gencarnya
dakwah Islam pada jaman Demak sekitar abad VX-VVI, yang digagas oleh seorang
Syeh Siti Jenar atau Seh Lemah Abang. Yang pada akhirnya konsep ini coba dilebur
dan batasi perkembangannya oleh para walisanga karena dianggap merupakan ajaran
yang menyesatkan. Dengan melakukan eksekusi terhadap Syeh Siti Jenar, namun
ajarannya terlanjur tersebar luas dikalangan murid-muridnya.
Dalam tasawuf Islam atau dikalangan orang sufi4 terdapat jenjang atau tataran
dalam memahami sebuah perilaku spiritual yaitu;
a. Syariat (sarengat)
b. Tarekat
c. Hakikat
d. Makrifat
Sedangkan tasawuf itu sendiri bersinonim dengan sophos kata yang berarti
hikmah dalam bahasa Yunani. Tasawuf diartikan juga sebagai ajaran mistik yang
diusahakan oleh segolongan umat Islam dan disesuaikan dengan ajaran Islam.
3 Ibid. h.4.
4 sufi kata ini berasal dari kata shafa atau shafwun yang berarti bening, sufi yakni, manusia-manusia
yang selalu menyucikan diri dengan latihan-latihan kejiwaan atau batin. Lih. Suwardi Endraswara
(2003;68.).
http://www.smada-zobo.jimdo.com | 3
Namun dalam prakteknya konsep ini membutuhkan kesiapan mental serta
spiritual yang tinggi. Pada perkembangan selanjutnya dari konsep atau yang
kemudian dalam tulisan ini akan disebut Manunggaling Kawula Gusti tidak hanya
menuju pada arah bentuk penyembahan akan tetapi juga digunakan untuk memahami
hakikat alam dan manusianya. Darimana ia berasal, untuk apa dan mau kemana
nantinya. Atau tahu ngelmu sangkan paraning dumadi (awal muasal kejadian).
Dalam masyarakat Jawa kegiatan olah rasa semacam ini disebut olah batin dan aliran
untuk kegiatan semacam ini disebut kebatinan dan ilmu yang diterapkan kejawen..
Pengertian kebatinan mengisyaratkan bahwa manusia memiliki sifat lahir (lair)
dan batin dalam potensi, dan dua aspek itu saling berhubungan5 . Pada dasarnya
pengertian Manunggaling Kawula Gusti itu, tidak hanya dapat diartikan sebagai pola
hubungan manusia dengan Tuhan namun juga hubungan manusia dengan sesamanya.
Menurut Purwadi 6 , perwujudan Manunggaling Kawula Gusti dapat digolongkan
menjadi tiga tipe yaitu;
a. Tipe Ethis, tipe ini mengharapkan adanya nanusia yang waskitha dan
susila. Harmonitas antara suara batin dengan laku amalnya menjadi titik
sentral orientasi dharma bhaktinya dalam kehidupan sosial.
b. Tipe Kosmologis, pada tipe ini terdapat kecenderungan kuat tentang olah
lahir dan olah batinnya, yaitu peleburan diri ke dalam daya “kosmos
universal” dan mengeliminasi individualitas.
c. Tipe Theologis, tipe ini sama dengan tipe kosmologis hanya saja banyak
menggunakan istilah dari kitab suci dan ajaran para nabi7.
Ketiga tipe tersebut diatas merupakan beberapa tipe dari perwujudan
manunggaling kawula Gusti. Adapun bentuk perwujudan lain dari manunggaling
kawula Gusti dalam jagad pemikiran orang Jawa tak lain hanyalah keselarasan,
keseimbangan. Yang kesemuanya bermuara pada satu keseimbangan jagad gedhe
5 ibid. h.40.
6 Purwadi, (2002;80).
7 Istilah-istilah yang diambil setelah masuknya pengaruh agama dari Arab atau daerah sekitar Timur
Tengah yang lain.
http://www.smada-zobo.jimdo.com | 4
dan jagad cilik, ungkapan seperti manunggaling sastra kalawan gendhing, curiga
manjing warangka, yang kesemuanya merujuk pada satu arah yaitu keselarasan–
harmonis.
Hubungan kosmologi antara makrokosmos dan mikrokosmos ini bersifat
kodrati. Hal ini dapat disaksikan pula ke dalam pertunjukkan wayang kulit. Dalam
wayang kulit terdapat hubungan antara kelir, gedebog (batang pisang), blencong
(lampu panggung wayang kulit), dan sebagainya (makro) selalu terkait dengan
wayang (mikro). Keduanya saling berhubungan dan saling memerlukan satu sama
lain. Jika ia adalah manusia, berarti dia adalah bagian dari alam semesta8 . Oleh
karena itu pertunjukkan wayang dikalangan masyarakat Jawa mendapat nilai lebih
karena wayang merupakan tontonan sekaligus tuntunan. Oleh karena itu wayang juga
mempunyai peranan sosio-religius.
3. Manunggaling Kawula Gusthi dan hubungan vertikal dengan Tuhan
Penjabaran konsep Manunggaling Kawula Gusti dalam hubungannya dengan
Dzat Illahiah adalah menuntut keselaran dalam mencapai sebuah kesatuan antara apa
yang dilakukan dengan apa yang ada dalam hatinya bentuk manembahing rasa. Jadi
bukanlah hanya mutlak penyatuan diri secara fisik dengan Dzat Illahiah. Tapi
bagaimana manusia bisa berada sedekat mungkin dengan Tuhan.
Hal ini menuntut kepada manusia untuk lebih dalam menghayati dengan
seksama dan sungguh-sungguh tentang hal-hal praktek penyembahan atau ibadah
terhadap Tuhan. Dia harus tahu betul makna dan tujuan dari penyembahannya hingga
terjadi satunya rasa dan tahu ada apa dibalik semua rahasia alam semesta hingga
kadunungan atau mendapat Dzat Illahiah.
Dalam serat Sastra Gendhing karya Sultan Agung, pupuh pangkur dijelaskan
tentang konsep bahwa Tuhan berada dalam tubuh manusia ;
Nadyan sastra kalih dasa
8 Suwardi Endraswara, (2003;52).
http://www.smada-zobo.jimdo.com | 5
Wit saestu tuduh kareping puji
Puji asaling tumuwuh
Mirid sing akhadiyat
Ponang hanacaraka pituduhipun
Dene kang datasawala
Kagentyaning kang pamuji
Wahdiat jati rinasan
Ponang padhajayanya angyekteni
Kang tuduh lan kang tinuduh
Sami santosanya
Kahananya wakhadiyat pambilipun
Dene kang magabathanga
Wus kanyatan jatining sir
Makna serta maksud dari dua bait pupuh pangkur tersebut diatas kurang lebih
adalah bahwasanya aksara Jawa yang duapuluh itu merupakan sebuah petunjuk
tujuan berdoa (menyembah), pujia-pujian terhadap asal mula, hanacaraka sebagai
petunjuknya sedangkan datasawala untuk yang memuji hingga terjadi
kemanunggalan yang sejati, sedangkan padhajayanya merujuk pada kekuatan antara
yang diberi petunjuk dan yang menunjuk sama-sama kuat (seimbang), adapun rahasia
kemanunggalan kawula-Gusti terungkap setelah manusia tersebut mati
(magabathanga)9.
Di balik perasaan manusiawi yang kasar, terdapat perasaan dasar yang murni
atau rasa, yang merupakan jatidiri, seorang individu (aku) dan manifestasi Tuhan
(Gusti Allah) dalam individu itu. Kebenaran keagamaan yang dasar dari mistikus
Jawa terikat dalam persamaan: rasa = aku = Tuhan10.
9 Ibid. h. 69-70.
10 Geertz Clifford. Dikutip dalam (Purwadi : 2002;81).
http://www.smada-zobo.jimdo.com | 6
Sebagai contoh apabila seorang muslim Jawa (abangan) atau yang memahami
konsep ini dengan benar maka ia akan menemukan apa dan untuk apa sebenarnya
hidup ini, dengan melakukan tidak hanya sebatas ritual religiusitasnya saja namun
paham dengan sepaham-pahamnya apa yang terkandung didalamnya. Begitu pun
halnya bagi pemeluk agama lain. Jadi ketika ia diberi pertanyaan hakikat dari praktek
religiusitasnya itu apa, maka ia akan bisa memberikan sebuah Jawaban yang tidak
hanya sekedar karena kewajiban serta ritualitas semata. Namun bisa njlentrehke atau
mengungkapkannya sedalam mungkin Hingga ia menjadi satu dengan Tuhannya.
Dikarenakan ia tahu apa yang Tuhan ingin dan maksudkan dan mampu
menerjemahkan semua firman-Nya semurni dan sedekat mungkin yang Tuhan
kehendaki.
Kisah perjalanan Bima11. Anak kedua dari pandu yang mencari air suci tirta
pawitra, mengisyarakatkan bahwa untuk mencapai kesempurnaan atau yang
dilambangkan dengan tirta pawitra tidaklah semudah membalik telapak tangan, akan
tetapi melalui ritual dan laku yang komplek hingga akhirnya ia mendapat wejangan
dari Dewa Ruci12 yaitu Dzat Illahiah yang menempati sukma sejatinya. Bima dalam
ngudi kasampurnan selalu mendapat rintangan dan godaan. Namun karena dilandasi
oleh keteguhan hati, ketaatan kepada guru dan sikap yang susila anoraga
(merendahkan diri), berbudi, legawa, madhep, mantep (rela,sungguh-sungguh
mantap), dan berserah diri, tidak takut mati meskipun telah diingatkan oleh saudarasaudaranya–
akhirnya ia dapat menemukan jati dirinya. Bahkan dia sudah sampai
11 Kisah tentang Pencarian tirta perwitasari ini bisa dilihat dalam serat Bima Suci gubahan Yasadipura
I.
12 Dewa Ruci dalam penggambaran pewayangannya serupa dengan Bima hanya saja bertubuh kecil,
namun walaupun bertubuh kecil mampu memasukkan tubuh Bima yang besar itu kedalam lubang
telinganya dan memberikan wejangan tentang ngelmu kasampurnan kepada Bima. Dewa Ruci di sini
menggambarkan citra dari sukma sejati sedangkan Bima sebagai sosok wadagnya. Dan oleh Dewa ruci
Bima diwejang tentang Sedulur lima pancer, yaitu pengetahuan tentang sifat-sifat dasar manusia.
Supiah, aluamah, amarah dan mutmainah, hingga ia bisa masuk kedalam telinga kiri Dewa Ruci dan
mendapat wejangan ngelmu Sangkan Paraning Dumadi.
http://www.smada-zobo.jimdo.com | 7
pada tingkat eneng,ening, dan eling pada saat bertemu dengan guru sejati yaitu dewa
Ruci13.
Gambaran semacam itu merupakan gambaran bagi seseorang yang telah
mencapai kesempurnaan hidup atau telah sadar sangkan paraning dumadi (mengerti
maksud hidup yang sebenarnya)14.
4. Manunggaling Kawula Gusti dalam Hubungan Horisontal dengan Manusia
Kalau dalam hubungan vertikal terjadi pergumulan yang sifatnya induvidu,
dalam hubungan ini justru bisa kebalikannya atau malah keduanya. Manunggaling
kawula lan Gusti disini cenderung pada tatanan hierarkis antara pemimpin dan rakyat
yang dipimpinnya.
Terjadinya hubungan antara Gusti (Raja/pemimpin) dan Kawula (rakyat) yang
harmonis, dimana Raja bisa mengoptimalkan fungsi dan kedudukannya dan rakyat
bisa nyengkuyung (mendukung) serta berfungsi sesuai dengan fungsinya masingmasing.
Hal ini ditekankan pada sebuah perpaduan serta penyatuan yang harmonis
dari berbagai macam elemen yang berbeda satu sama lain dalam hubungan saling
diuntungkan.
Untuk menggambarkan proses tersebut bisa dilihat dari simbol yang melekat
pada gamelan Jawa. Apabila kita amati lebih dalam, ternyata seperangkat gamelan
Jawa merupakan sebuah gambaran, bagaimana dari sekian jenis macamnya itu indah
apabila dimainkan dengan mengikuti polanya masing-masing, tanpa mengganggu
yang lain. Contoh seorang penabuh gong mempunyai tugasnya menabuh gong,
apabila ia serakah mencoba menabuh kenong misalnya, padahal kenong tersebut
sudah ada yang menabuh maka akan terjadi ketidak serasian lagi. Jadi bentuk
kemanunggalan disini tidak identik dengan peleburan dalam bentuk fisik melainkan
rasa.
Manusia hidup bermasyarakat tidaklah dalam keadaan yang serba sama satu
sama lain, adakalanya berbeda entah beda keturunan, adat tatacara maupun budaya.
13 Suwardi Endraswara (2003 ; 79).
14 Bratawijaya (1997; 63).
http://www.smada-zobo.jimdo.com | 8
Namun kalau rasa kita sama niscaya perbedaan fisik bukanlah sebuah kendala dalam
menciptakan sebuah harmoni yang serasi. Tugu Jogja yang menjadi icon kota pelajar,
pada jamanya dulu dibangun untuk menggambarkan lambang manunggaling kawula
lan Gusti di daerah jogja yang pada waktu itu masih berbentuk Kasultanan merdeka,
ketika awal tahta Jogja berdiri. Dulu tugu tersebut berbentuk golong-gilig15, beda
dengan yang kita lihat sekarang. Tugu yang sekarang merupakan hasil dari
pemugaran tugu oleh pemerintah kolonial Belanda karena khawatir kalau tugu
tersebut masih tegak berdiri maka rasa manunggal antara rakyat dan Sultan tumbuh
dan mengakar.
5. Relevansi Konsep Manunggaling Kawula Gusti
Apabila kita melihat serta mengamati, ternyata manunggaling kawula Gusti
masih dipegang oleh sebagian masyarakat Jawa dalam mengaktualisasikan diri
mereka dengan alam serta Dzat Illahiah. Dan hal ini merupakan sesuatu yang ideal.
Bukan berarti manunggaling kawula Gusti lantas kita menjadi Tuhan tidak. Gusti
disini mempunyai beberapa arti Gusti bisa untuk Tuhan, Raja, atau sukma kita sendiri,
tergantung konteks mana yang kita pakai. Dan dari sudut pandang mana kita
melihatnya.
Proses pencarian Gusti, atau dalam ungkapan Jawa menjadi kepanjangan
bagusing ati (kesucian hati), harus melalui tingkatan serta latihan yaitu dengan
mengenali watak atau sedulur papat kita, yaitu nafsu supiyah, aluamah, amarah dan
mutmainah, apabila kita bisa mengenali nafsu ini dan mengendalikannya maka kita
sudah menginjak tataran awal manunggaling kawula Gusti, yaitu kesucian hati karena
kita tahu siapa kita. Dan hal tersebut merupakan modal untuk lebih bisa dekat dengan
Dzat Illahiah yang kita cari.
6. Penutup
Sebenarnya apabila kita berbicara masalah kejawen atau kebatinan Jawa,
maka kita akan disuguhi sebuah daratan yang maha luas, serta komplek karena apa
15 Gambar tugu, golong gilig ini berbentuk lonjong seperti lidi, sekarang masih dipakai dalam lambang
pemerintah Daerah Istimewa Jogjakarta.
http://www.smada-zobo.jimdo.com | 9
yang ada saling terkait satu sama lain. Dan dalam tulisan singkat ini hanya sedikit
dikupas masalah Manunggaling Kawula Gusti secara sederhananya, sehingga
setidaknya bisa membuka sedikit wacana bagi kita tentang apakah makna dibalik
kata-kata tersebut.
Dan masih relevan tidaknya konsep tersebut semua kembali kepada individu
setiap manusia Jawa itu sendiri atau yang diluar itu namun mencoba menguak
informasi di dalamnya. Semoga tulisan yang sangat dangkal ini bisa bermanfaat
untuk kita.
Pustaka Acuan
Bratawijaya, Thomas Wiyasa. 1997.Mengungkap dan Mengenal Budaya Jawa.
Jakarta : Pradnya Paramita.
Endraswara, Suwardi.2003. Mistik Kejawen ; Sinkretisme, Simbolisme dan Sufisme
dalam Budaya Spiritual Jawa. Yogyakarta : Hinindita.
————–,2003. Budi Pekerti dalam Budaya Jawa. Yogyakarta : Hinindita.
Mulder, Niels.2001. Mistisme Jawa ; Ideologi Di Indonesia. Yogyakarta : LKIS.
Purwadi. 2002. Penghayatan Keagamaan Orang Jawa ; Refleksi atas Religiusitas
Serat Bima Suci. Yogyakarta : Media Pressindo.

PERGESERAN MAKNA RUANG PERTUNJUKAN WAYANG KULIT JAWA
{Studi Kasus Kediaman GBPH. Yudhaningrat (Yogyakarta) dengan Teater Wayang Kautamaan (TMII)}
DONI MORIKA

Seni pertunjukan wayang kulit Jawa merupakan salah satu kesenian tradisional yang sarat akan filosofi dan kebijaksanaan. Demikian pula dengan Indonesia yang memiliki beragam suku bangsa dan kebudayaan yang beranekaragam dan berbeda satu dengan yang lainnya, namun semuanya turut memperkaya khsanah kebudayaan ditanah air ini. Masyarakat Jawa yang telah mendapat pengaruh dari budaya luar sebagai dampak arus perkembangan jaman, sebagian besar mulai melupakan makna pagelaran wayang kulit, oleh karena itu perlu diadakan penelitian mengenai masalah pergeseran makna ruang pertunjukan wayang kulit Jawa sebagai usaha untuk memberikan pengetahuan kepada masyarakat.
Keterkaitan pagelaran wayang kulit dengan perubahan fisik ruang dan pergeseran nilai serta makna yang terjadi pada obyek studi terkait, merupakan pokok permasalahan guna mencapai tujuan penelitian yang mengamati pergeseran makna ruang dalam bangunan tradisional Jawa Joglo dan gedung pertunjukan, dikaitkan dengan pementasan wayang kulit Jawa.
Metoda yang digunakan adalah peneltian kualitatif dengan mengumpulkan data dari masyarakat umum dan nara sumber terkait yaitu GBPH Yudhaningrat, serta pengelola gedung Pewayangan Kautamaan TMII.
Temuan penelitian ini menunjukkan indikasi pergeseran yang disebabkan karena penyesuaian terhadap berbagai perubahan yang terjadi mulai dari cara pementasan wayang kulit dulu dengan sekarang. Serta yang meliputi pergeseran seperti peristiwa pertunjukan, waktu, penonton, konten, dan ruang, dimana perbedaan ini pada akhirnya mengakibatkan munculnya pergeseran makna ruang dalam suatu pementasan wayang kulit Jawa. Hal ini tidak terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya pandangan orang terhadap sebuah pertunjukan kesenian tradisional yang menyangkut dalam konteks waktu pertunjukan wayang kulit dulu dan pertunjukan wayang kulit sekarang.
Agaknya kebudayaan Jawa yang syarat akan nilai-nilai etika, termasuk di dalamnya pakem-pakem pementasan wayang kulit Jawa, ternyata lebih dari sekedar system nilai yang pada akhirnya berpengaruh kepada seluruh bidang kehidupan. Sistem nilai tersebut ternyata juga dapat diwujudkan dalam bentuk fisik. Pergeseran makna ruang pertunjukan dari system nilai yang terjadi seiiring dengan perkembangan jaman tersebut juga berpengaruh terhadap perubahan dalam bentuk fisik, khususnya dalam penelitian ini melihat pergeseran makna ruang pertunjukan wayang kulit Jawa.

Kriminalitas di Surakarta Masa Revolusi

 

          Bukan rahasia lagi jika kriminalitas telah marak di sukarta pada awal revolusi. Proklamasi kemerdekaan yang diidam-idamkan oleh bangsa Indonesia telah banyak membawa perubahan yang sejatinya memang diinginkan rakyat Indonesia. Surakarta adalah salah satu kota yang mengalami revolusi ketika itu. Bagi para pejuang, proses pemindahan kekuasaan di Surakarta harus dilakukan dengan melucuti senjata Jepang dan penguasaan atas sarana dan prasaran yang diduduki oleh serdadu Jepang.[1] Dengan itu maka revolusio yang diinginkan oleh masyarakat Surakarta akan berjalan meski mungkin ada satu sisi negative dari revolusi tersebut. Para pejuang menggerakkan aksi-aksi revolusioner terdiri dari beberapa kelompok seperti, politi ex Diguis bekas Heiho, anggota PETA dari kesatuan Womogiri dan Manahan, kaigun Heiho, ken pei-Ho, dan beberapa kesatuan yang baru pulang tugas dari luar Surakarta.[2]

Tindakan-tindakan mengirangi kekuasaan Jepang masih terus berlangsung terlepas dari adanya pertentangan di pemerintahan, di Surakarta terdapat dua pemerintahan atau Double Bestuur yaitu dari pihak kraton dan pihak KNI daerah Surakarta melalui KDPRI.[3] Surakarta sendiri merupakan kota oposisi ketika Yogyakarta menjadi ibu kota negara, Tan Malaka dianggap sebagai pemimpin dari kekuatan oposisi yang agaknya kekiri-kirian itu. Pertentangan politik di Surakarta pun tidak  terelekan lagi ketika keduanya berada dalam satu daerah yang berdekatan. Petentangan antara Tan Malaka sebagai kekuatan oposisi dengan pemerintahan Syahrir telah memberi peluang tumbuhnya kriminalitas di Surakarta yang sudah ada  sebelum masa revolusi. Masalah sosial pun menghinggapi Surakarta seiring banyaknya orang yang bermigrasi ke Surakarta.

Kondisi Masyarakat Surakarta Masa Revolusi

Kondisi ekonomi Surakarta pada masa Revolusi berada dalam keadan yang memprihatinkan, karena tindakan ekploitasi pada masa pendudukan Jepang dan terus berlanjut pada masa awal revolusi, bahkan pada awal revolusi terkesan lebih ekpotatif dari pada masa pendudukan Jepang. Disisi lain permintahan terhadap pemenuhan kebutuhan pokok semakin meningkat seiring dengan bertambahnya peduduk Surakarta. Harga dari kebutuhan pokok itu sendiri menjadi tinggi akibat distribusi barang sering kali terhambat oleh aktivitas blokade dari tentara Belanda. Kondisi ini diperparah oleh orang-orang pribumi dan cina yang melakukan tindakan penimbunan demi mendapat keuntungan pribadi. Meski pemerintah mengeluarkan undang-undang yang melarang adanya penimbunan tetap saja penimbunan terjadi. Semua memaksa para penduduk Surakarta untuk mencari pinjaman kebeberapa pihak seperyi bank dan juga ke rentenir. Tapi tidak semua usaha yang dilakukan membawa, pinjaman-pinjaman itu sendiri memperburuk kodisi ekonomi daerah Surakarta yang mengakibatkan banyak perusahaan bangkrut dan gulung tikar. Dapat dipastikan jumlah pengangguran pun makin bertanbah, keadaan itulah yang mendorong sekaligus memberi kesempatan terjadinya kriminalitas di Surakarta.

Kedudukan Polisi

Pada awal revolusi kedudukan polisi dalam situasi yang dilematis dan mengkhawatirkan, mereka tidak hanya kehilangan kemampuan meneggakan dan menjga keamana tetapi sering kali mereka menerima aksi-aksi kekerasan dari massa atau laskar-laskar rakyat.[4] Ini disebabkan karena anggapan masyarakat bahwa polisi adalah alat untuk menjalankan pemerintahan dari rezim sebelumnya. Struktur kepolisian disusun kembali setelah terbentuknya kabinet baru pada tanggal 4 September 1945 yang menempatkan kepolisian dibawah kementrian dalam negeri.[5] Sementera itu para laskar rakyat merasa punya kewjiban dalam membrantas semua tindak kejahatan, karena pemahaman mereka atas nilai-nilai revolusi menyebabkan adanya tindakan kekerasan dan penyerangan terhadap pihak-pihak yang melakukan kejahatan tanpa koordinasi polisi. Jumlah polisi di Surakarta pada masa itu tidak sebanding dengan jumlah penduduknya, meski sebenarnya jumlah itu lebih baik dari pada daerah lain tetapi tidak menjamin terselesaikannya tindakan kriminalitas yang terjadi. Polisi sendiri mengalami kesulitan dalam menindak segala tindakan kekerasan yang terjadi akibat banyak para pelakunya mendapatkan perlindungan dan dukungan dari rakyat. Dukungan yang diberikan oleh rakyat tidak terlepas dari sikap para pelaku kekerasan dan kejahatan yang tidak sedikit membagi-bagikan hasil kejahatannya kepada rakyat miskin. Sasaran kejahatan adalah para orang-orang keturunan cina dan orang kaya yang dianggap menjadi kaki tangan penjajah sebelum kemerdekaan. Tindakan-tindakan itulah yang membuat sulit untuk membedakan antara bandit dan pejuang.

Revolusi Sosial dan Konflik

Konflik di Surakarta mulai meluas ketika Tan Malaka dengan Persatuan Perjuangan mengadakan gerakan-gerakan yang menggoyang pemerintahan Syahrir di Yogyakarta. Gerakan yang ditujukan pada kekuasaan yang ada pada daerah Surakarta baik pemerintahan atau pada kraton.  Gerakan-gerakan yang ditujukan kepada kraton lebih dikenal dengan istilah gerakan anti swapraja, gerakan yang berupa aksi-aksi penculikan terhadap pembesar kraton yang dianggap telah melalaikan adat istiadat kraton.

Surakarta telah dipenuhi dengan kekuatan oposisi sedangkan Yogyakarta adalah pusat pemerintahan, maka bisa dibayangkan situasi yang melingkupi kedua kota yang jaraknya berdekatan tersebut. Perbedaan pendapat agknya tak dapat dihindari lagi, guna mencegah terjadinya perpecahan di kalangan Indonesia, Tan Malaka dan kawan-kawannya ditangkap(Sukarni, Chaerul Saleh, Adam Malik, Soebarjo, Iwa Kusuma Sumantri, Abikusno dan Mohammad Yamin) langsung ditangkap oleh PM Sultan Syahrir dan ditahan dipenjara Tawangmangu pada Juni 1946.[6] Karena banyak gerakan yang ada pada masa pemerintahan Syahrir maka jalannya pemerintahannya pun tidak sesuai dengan program kerjanya, alhasil kabinetnya runtuh dan digantikan oleh Amir Syarifudin. Keadaan lebih buruk dengan ruhtuhnya dwi-tunggal sSoekarno-Hatta, menyusul pengunduran diri bung Hatta sebagi wakil presiden pada 1 Desember 1956 akibat mersa tidak lagi sejalan dengan kebujakkan presiden Soekarno.[7] Kabinet Amir nampaknya mengalami hal yang sama dengan kabinet Syahrir mengalami keruntuhan, penggantinya adalah Hatta. Kabinet Hatta telah banyak melakukan perubahan yang menimbulkan suatu kekecewaan dari anggota Amir karena tidak mengikut sertakan anggota amir duduk dalam pemerintahan. Kekecewaan Amir Sjarifudin dan teman-teman dituangkan dalam FDR yang melakukan gerakan yang merugikan dan menggoyang pemerintahan. Aksi-aksi kekererasan pun kian marak terjadi, situasi yang kondusif ini menjadi jalan berkembangnya kriminalitas di Surakarta.

Bentuk-bentuk Kriminalitas Yang Terjadi di Surakarta

Penyalahgunaan Candu

Surakarta merupakan salah satu kota yang punya Bandar-bandar candu sejak masyarakat Arab menginjakkan kakinya untuk melakukan perdagangan. Di era revolusi pemerintah bersikap dualisme dalam masalah candu. Pada satu sisi, pemerintah tidak mengijinkan masyarakat memperdagangkan dan memiliki candu, tetapi disisi lain pemerintah lewat kementrian pertahanan dan kantor besar Regi candu dan Garam memberikan ijin kepada badan-badan perjuangan atau TNI untuk memperdagangkan candu ditengan masyarakat.[8] Pemberian ijin yang diberikan pemerintah untuk badan-badan perjuangan bersifat rahasia dan hanya diketahui  oleh badan-badan yang berkepentingan dalam perdagangan candu tersebut.[9] Penyalahgunaan candu banyak dilakukan oleh orang cina. Candu yang diperjual belikan digunakan untuk membiayai perjuangan dengan cara menukar candu dengan perlengkapan berperang.

Uang Palsu dan Penimbunan Uang Receh

Uang palsu beredar di Surakarta pada saat terjadinya kekacauan nilai mataa uang akibat beredarnya tiga mata uang sekaligus pada masa revolusi. Ketiga mata uang yang beredar adalah Oeang Republik Indonesia (ORI), uang rupiah buatan Jepang, dan Gulden milik Belanda. Para pemalsu uang kebanyakan orang Tionghoa dan Cina yang berdomisili di Indonesia. Meski ada upaya dari pemerintah untuk menanggulanginya yaitu dengan cara pengenalan terhadap uang asli tetapi tetap saja uang pals uterus beredar. Kasus semakin banyaknya uang palsu yang beredar di Indonesia khususnya daerah Surakarta dikarenakan kurangnya perhatian dari pemerintah. Lemahnya kontrol pemerintah atas beredarnya uang palsu dikarenakan pemerintah disibukkan dengan upaya untuk menghadapi kekuatan Belanda.

Sedangkan untuk masalah uang receh yang ditimbun oleh orang yang ingin meraup keuntungan mempunyai dampak langsung pada masyarakat Surakarta. Karena penimbunan uang receh mengakibatkan banyaknya aktivitas transaksi ekonomi masyarakat Surakarta menjadi terhambat. Upaya dari pemerintah adalah mengadakan penyelidikan dan penggeledahan pada beberapa tempat seperti restaurant yang dimiliki oleh orang-orang Cina.

Kriminalitas Di Kota dan Di Pedesaan

Perbanditan

Bandit merupakan istilah untuk menyebut individu yang melawan hukum.[10] Jika ditelusuri lagi para bandit ini banyak yang mempunyai latar belakang sebagai seorang pejuang. Pada masa revolusi mereka dihapkan pada dua pilihan yaitui menjadi seorang Revolusioner atau sebagai bandit. Tentu saja ini bukan pilihan yang mudah bagi mereka, semua pasti ada resiko dan keuntungnnya. Pada masa revolusi Indonesia adalah saat yang tepat bagi para bandit untuk melakukan aksi penjarahan dan mencuri harta benda milik anggota pamong praja atau para orang Cina. Jika para laskar-laskar perjuangan menggunakan revolusi sosial untuk melenyapkan swapraja kraton, maka para bandit memanfaatkannya untuk mengambil paksa harta kraton yang dianggap telah melakukan ekploitasi pada rakyat. Bisa dikatakan aksi kriminalitas para bandit ini adalah suatu protes sosial atas tindakan ekploitasi kraton.

Para pejuang yang terpaksa menjadi seorang bandit adalah korban Rasionalisasi Pemerintahan Hatta, krisis keuangan yang membuat pemerintah mrampingkan angkatan perangnya. Tentu saja program ini telah banyak memulangkan ribuan tentara yang dianggap kuarang patut untuk dipertahangkan sebagi terntara nasional Indonesia. Pada awalnya korban-korban Rasinalisasi adalah para tentara yang tidak disiplin tetapi akhirnya memakan korban lain juga karena memang dirasa sangat pengurangan dalam jumlah yang banyak.

Para tentara yang terkena rasionalisasi merasa frustasi dan tertekan, mereka tidak bisa kembali ke masyarakat karena  mereka belum siap untuk itu atau juga karena mereka tidak punya keahlian lain selain  di medan tempur. Kekecewaan yang mendalam inilah yang menyebabkan rasa antipati terhadap pemerintah, rasa antipati itu dituangkan dengan aksi-aksi kriminalitas yang merong-rong kewibawaan pemerintahan. Sasaran yang dijadikan korban oleh mereka adalah para pamong praja, elite kraton dan orang-orang Cina, ini karena mereka merasa korbannya adalah musuh bagi mereka sendiri dan juga musuh bagi Negara. Para tentara yang tidak terkena rosinalisasi bukan berarti mereka bebas tidak melakukan kejahatan. Ada beberapa pejuang yang melakukan tindak kriminalitas demi kepentingannya sendiri.

Penggedoran

Bentuk kriminalitas lain adalah penggedoran, kata ini diartikan sebagi bentuk kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok orang bersenjata yang dengan paksa merampas barang orang lain dan tidak segan melukai korbannya bahkan jika dirasa perlu mereka akan membunuh korbannya. Terdapat beberapa istilah yang mempunyai pengertian yang sama denagn penggedoran yaitu menggrayak, mengkoyok dan menggarong[11]. Dalam operasi penggedoran akan dipimpin oleh seseorang yang dianggap sebagai jagoan dalam kelompoknya, sebutan bagi pemimpin pengedoran adalah Benggol. Peranan Benggol in biasanya terbatas hanya di pedesaan, karena daerah perkotaan dikontrol oleh kekuatan lain yaitu badan-badan perjuangan.[12] Pada awal revolusi tampaknya para benggol berhasil mengotrol dan menjalankan aksinya hingga tercatat pada bulan Oktober sampai Februari 1946 aksi penggedoraran hamper terjadi tiap hari. Setelah bulan februari aksi itu mulai penurunan karena pada masa pertengahan revolusi keadaan di Surakarta mulai membaik dan aman. Baru setelah agresi militer Belanda kedua di Surakarta tanggal 20 Desember 1948, aksi-aksi penggedoran di pedesaan dan perkotaan Surakarta Mmeningkat tajam.[13]

Tinggi rendahnya tingkat dari penggedoran tidak terlepas dari aktivitas para pejuang saat bergerilya, aktivitas yang dilakukan para pejuang berupa serangan terhadap Belanda dan juga penghukuman kepada pihak-pihak yang dianggap membantu penjajah. Pengedoran-perngedoran yang dilakukan tersebut sangat penting untuk menambah persediaan logistik yang sangat penting bagi kelangsungan perjuangan.[14] Bahkan instansi milik pemerintah pun kerap menjadi sasaran dari penggedoran tersebut, sulit untuk diketahui siapa yang melakukan penggedoran atas instansi miliki pemerintah tersebut, apakah para pejuang ataukah para bandit yang memanfaatkan keadaan yang ada pada waktu itu. Barang-barang yang menjadi sasaran dari penggedoran biasanya adalah hewan ternak, perhiasan,sepeda dan kebutuhan sehari-hari.

Diantara para warga orang asing yang lolos dari sasaran kriminalitas adalah para orang Arab. Orang-orang Arab dianggap tidak terlalu berhubungan dengan Belanda dan mempunyai andil yang besar terhadp perjuangan bangsa Indonesia.[15] Bantuan yang diberikan oleh orang Arab berupa uang atau makanan yang dibutuhkan oleh para pejuang.

Koyok

Koyok adalah salah satu istilah yang digunakan untuk menyebutkan perampokkan selain Kecu. Istilah kecu digunakan untuk menyebut sekelompok orang bersenjatayangh meminta dengan paksa harta korban, dan tdak jarang disertai tindakan nekad dengan menyiksa atau membunuh korbanya.[16] Bedanya antara kecu dan koyok adalah, apabila kecu merupakan perampokkan yang dilakukan lebih dari lima orang, maka koyok dilakukan oleh kelompok yang lebih kecil dari itu.[17] Tetapi dalam masa revolusi pengkoyokan bisa dilakukan oleh spulu orang lebih, berbeda pada masa kolonoial sebelumnya. Terjadi sedikit perubahan atas pengklasifikasian jenis perampokan di Surakarta, bukan karena revolusi yang menggubah pemaknaan tersebut. Ini terjadi karena istilah koyok tidak digunakan secara merata di Surakarta. Istilah ini digunakan secara terbas di daerah Boyolali dan sebagian klaten.[18]

Grayak

Grayak adalah istilah yang cukup kontroversial, sejak kapan itu mulai dikenal dan digunakan masih menjadi satu permasalahan. Dugaan atas penelitian-penelitian yang dilakukan garyak muncul sekitar akhir revolusi. Istilah ini dikembangkan oleh para bandit di lereng gunung Merapi dan Merbabu yang tergabung dalam Merapi Merbabu Complex (MMC).[19] Gerombolam MMC merupaka suatu organisasi yang terdiri dari para bajingan, orang-orang komunis dfan para mantan tentara yang kecewa terhadap rasinalisasi.[20] Tujuan grayak sealian untuk merampas harta orang lain juga bermaksud untuk melakukan aksi kekacaun dan memunculkah keresaha-keresahan yang secara politis dapat menggoyang pemerintahan pusat. Tindakan grayak ini tiding jarang disertai dengan pembunuhan terhadap korban, korban pembunuhan adalah orang pamong praja dan orang-orang keturunan Cina. Bahkan anggota TNI yang sedang lewat dikawasan gunung merapi dan Merbabu pernah mendapatkan serangan dari para grayak, harta mereka diarampas kemudian mereka disiksa dan akhhirnya dibunuh.

Penculikkan

Bagi masyarakat Surakarta penculikkan diartiakn sebagai Srobotan yang mempunyai maksud sebagi tindakan “Pengambilan” orang dengan paksa.[21] Korban yangt menjadi sasaran dari penculikkan adalah para anggota pamong praja, mereka ditangkap, ditawan dan kemudian mendapatkan siksaan yang kadang kala berakhir dengan kematian mereka. Selain anggota pamong praja yang menjadi sasaran adalah para pegawai pemerintahan dan orang-orang Cina. Tindakan penculikan ini didasarka pada keinginan para pelaku untuk mengadili orang-orang yang dianggap telah membantu penjajah. Tindakan-tindakan seperti penculikan ini tidak jarang juga ditumpangi oleh tindak kriminalitas lain yang berupa perampokan dan penjarahan. Ada dua pelaku dalam penculikkan, yang pertama dilakukan oleh TNI dan yang kedua dilakukan oleh para kriminil. Apabila TNI dalam melakukan aksi penculikkan mempunyai tujuan politis dan perjuangan, maka penculikkan yang dilakukan oleh gerombolan liar lebih ditunjukkan untuk kepentingan-kepentingan ekonomi dan pribadi.[22]

Pembunuhan

Aksi-aksi pembunuhan mulai marak di Surakarata pada awal revolusi, yang diawali oleh insiden penembakkan anggota TNI, Kolonel Sutarto. Setelah itu aksi kekerasan yang berujung pada pembunuhan kian marak. Kondisi ini sebenarnya dilatar belakangi oleh pertentangan politik yang terjadi di Surakarta. Pembunuhan tidak hanya menimpa para pegawai pemerintah ataupun para pamong praja, tetapi juga menimpa pada orang-orang Cina. Konflik politik yang merebak seperti halnya api yang sengaja disulutkan ke daerah yang penuh dengan bahan bakar. Konflik antara laskar-laskar perjuangan yang mempunyai perbedaan atas pemaknaan revolusdi atau laskar yang kecewa terhadap pemerintah terus   merebak. Aksi penyerangan terhadap beberapa pihak ataupun laskar pun sering terjadi, penyerangan ini dilakukan oleh para lascar rakyat yang masih mempunyai persenjataan, jadi kemungkinan untuk jatuh korban sangat besar.

Penjarahan dan Pembakaran

Aksi penjarahan ini marak di Surakarta pada awal revolusi dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan para pelaku karena semakin susahnya untuk mendapatkan bahan-bahan kebutuhan pokok. Biasanya aksi-aksi penjarahan ini disertai dengan pembakaran-pembakaran, demikian sebaliknya.[23] Aksi penjarahan dan pembakaran ini tidak sedikit menelan kerugian bagi pemerintah sendiri, karena beberapa instansi milik pemerintah pun menjadi sasaran dari aksi tersebut. Aksi pembakaran terkesan sebagai protes sosial atas kebijakan pemerintah yang dianggap tidak adil. Ini terkait dengan masalah Rasionalisasi yang merupakan propgram kerja dari pemerintahan Hatta.


[1] Julianto Ibrahim, Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan (Yogyakarta, Bina Citra Pustaka, 2002) hal 93.

[2] Ibid., hal 93.

[3] Ibid., hal 95.

[4] Ibid., hal 115.

[5] Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI,(Jakarta, Dekdikbud,1975) hal 48.

[6] Sumitro Djojohadikusumo, Jejak Perlawanan Bengawan Pejuang,(Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 2000) hal 110.

[7] Ibid., hal213.

[8] Julianto Ibrahim, op. cit., hal 129.

[9] AH. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia III, (Bandung, Angkasa, 1997),hal 312-313.

[10] Julianto Ibrahim., op. cit., hal 222.

[11] Suhartono, Bandit-Bandit Pedesaan di Jawa,(Yogyakarta, Aditya Maga, 1995) hal. 96.

[12] Julianto Ibrahim, op.cit., hal 232.

[13] Ibid., hal. 223.

[14] Ibid., hal. 235.

[15] Ibid., hal. 236.

[16] Suhartono, Apanage dan Bekel, (yogyakarta, PT Tiara Wacana Yogya,1991), hal. 153.

[17] Suhartono, op.cit., hal 92.

[18] Julianto Ibrahim, op.cit., hal 240.

[19] Julianto Ibrahim., op.cit., hal. 242.

[20] Ibid., hal.242-243.

[21] Ibid., hal. 179.

[22] Ibid., hal. 179.

[23] Ibid., hal. 193.

Perlawanan Rakyat Aceh

 

 

Sejak kaum kolonial menginjakkan kakinya di nusantara ini, banyak sudah timbul perang akibat ketidaksukaan rakyat setempat kepada para Kolonialis. Salah satu perang yang terjadi di nusantara dan merupakan perang yang paling sengit dalam mempertahankan daerah adalah perang Aceh. Perang ini adalah manifestasi dari ketidaksukaan rakyat Aceh pada pada Belanda, yang menjadi kaum kolonial saat itu.

Ketika Belanda dan Inggris sepakat membawa masalah Aceh ke meja perundingan, dengan hasil perjanjian yang dikenal dengan Traktat London. Sejak saat itulah Belanda punya kekuasaan di Aceh, namun ia kurang leluasa karena salah satu isi dari Traktat London  menyebutkan agar Belanda menghormati kedaulatan kerajaan Aceh. Maka untuk lebih leluasa lagi dalam menjalankan praktek kolonialnya Belanda mengajak Inggris ke meja perundingan sekali lagi. Ternyata usaha Belanda itu berhasil, kemudian hasil perundingan adalah Traktat Sumatra. Dalam perjanjian itu Belanda diperbolehkan meluaskan kekuasaan di Aceh.

Maka sejak saat itulah Belanda terus gencar memperluas daerah kekuasaannya. Hal ini telah disadari oleh kerajaan Aceh, bahwa dengan ditandatanganinya Traktat Sumatra akan mengancam kedudukan kerajaan Aceh. Maka untuk itu Aceh berusaha memperkuat dirinya dengan meminta bala bantuan dari Negara-negara lain. Dalam bulan Januari 1873 Sultan Aceh telah mengirimkan seorang utusan, Habib Abdurrahman, ke Turki untuk meminta bantuan apabila Belanda menggunakan kekerasan dan berusaha menundukkan Aceh.[1] Aceh meminta bantuan kepada Amerika Serikat dan Italia ketika konsul-konsul itu tiba di Singapura dengan kapal-kapalnya.

Belanda mengetahui bahwa tindakan aceh ini sangat membayakan kedudukanya, Belanda merasa takut jika persekutuan itu akan menjadi pengahalang bagi dirinya untuk menaklukan Aceh. Untuk mengatasi hal tersebut, Belanda segera mengirim utusannya yang bernama F.N. Niuwenhuysen menghadap Sultan Aceh. Utusan ini membawa surat yang intinya meminta agar Sultan menuruti yang menjadi kehendak Belanda. Namun ternyata Sultan tidak mengindahkan utusan serta dari pihak Belanda tersebut, akibatnya Belanda memutruskan perang dengan kerajaan Aceh. Belanda mengirimkan Mayor Jenderal J.H.R. Kohler dengan membawa pasukan sebesar 168 orang perwira dan 3198 serdadu, di samping itu juga pasukan angkatan laut.[2]

Ketika mendengar bahwa Belanda akan melakukan serangan atas Aceh, maka Sultan menyiapkan pasukan-pasukannya di pantai-pantai Aceh untuk melawan pasukan Belanda yang akan tiba. Bagimanapun juga Aceh harus bergantung pada dirinya sendiri setelah usahanya untuk meminta bantuan gagal. Aceh tidak mendapat bantuan apa pun selain sentimen-sentimen yang penuh ketulusan dari orang-orang Turki (yang bagaimana pun juga tidak berdaya memberikan bantuan), penolakan mentah-mentah oleh pihak Inggris, dorongan dari konsul Amerika namun penolakan oleh Washington, dan sama sekali tidak ada tanggapan dari pihak Prancis.[3] Pada tanggal 5 april 1873, pasukan Belanda telah mendarat di pantai Aceh, dengan itu maka tak terelakan lagi terjadinya pertempuran antara kedua pasukan tersebut. Dengan senjata yang lebih canggih Belanda berhasil memukul mundur pasukan Aceh hingga sampai pada mesjid Raya. Belanda  berhasil menduduki benteng-benteng yang ada di dekat pantai Aceh, dan untuk selanjutnya digunakan sebagai tempat pasukan militer Belanda. Sebenarnya yang menjadai target utama dari penyerangan pasukan Belanda adalah Mesjid Raya, tetapi pasukan Aceh sangat gigih mempertahankannya. Pasukan Belanda akhirnya mengepung daerah di sekitar Mesjid Raya tersebut, tapi mereka mengalami kesulitan untuk masuk lebih jauh. Karena pertahan lascar Mesjid kuat, panglima Belanda Kohler memerintahkan untuk menembakkan peluru api ke arah Mesjid.[4] Akibat serangan yang dilancarkan pasukan Belanda itu Masjid menjadi terbakar sehingga membuat pasukan Aceh menarik dari kawasan Mesjid. Pada tanggal 14 April 1873 pasukan Belanda telah merebut dan menduduki areal Mesjid raya. Waktu Kohler kemudian memeriksa situasi mesjid yang telah direbutnya, sekonyong-konyong ia ditembak oleh seorang prajurit Aceh, sehingga ia tewas.[5]

Ketika Aceh telah kehilangan Mesjid Raya untuk dipertahankan, maka Sultan mengumpulkan sebagian kekuatan di sekitar Istana, sedang yang lain difungsikan untuk menyerang daerah yang telah direbut oleh Belanda. Belanda berusaha untuk mendekati daerah istana dengan megadakan penyerangan ke daerah istana Aceh, usaha ini akhirnya dapat diatasi oleh tentara Aceh pada tanggal 16 April 1873 dan kemudian terjadilah pertempuran yang sengit antara keduanya, dikarenakan tidak berhasil juga mendekati daerah istana Belanda dengan terpaksa mundur lagi ke masjid. Dalam pertempuran ini Belanda mendapat kerugian atas gigihnya perlawanan tentara Aceh, diantaranya sembilan perwira dan seratus enam belas serdadu Belanda tewas dalam pertempuran tersebut. Usaha Belanda tersebut untuk mengatasi perlawanan dari tentara Aceh berkali-kali kandas dan berkali-kali menemui jalan buntu. Dikarenakan usahanya selalu menemui jalan buntu Belanda yang juga atas persetujuan dari Pemerintah Belanda akhirnya meninggalkan pantai Aceh pada tanggal 29 April 1873. Perlawanan rakyat Aceh dalam melawan kolonialisme Belanda tidak dapat dipandang remeh oleh Pemerintah Belanda, apalagi dengan kematian dari salah seorang Jenderal Belanda yaitu Jenderal Kohler merupakan suatu bukti nyata yang dapat menjadikan pemikiran bagi Pemerintah Belanda bahwa perlawanan dari masyarakat Aceh tidak dapat dianggap ringan.

Dengan kegagalan serangan yang pertama ke Aceh, tidak membuat Belanda patah arang untuk menduduki istana Aceh. Belanda mencoba dengan mengirimkan pasukannya lagi untuk menyerang Aceh, kali ini berbeda dengan serangan yang pertama akan Aceh, Belanda mengirimkan lebih banyak tentara untuk serangan kali ini. Pada tanggal 6 November 1873, Jenderal  J. Van Swieten diangkat menjadi pimpinan pasukan expedisi kedua yang akan membawa pasukan yang lebih besar berkekuatan sekitar 8000 orang.[6] Selama mengadakan persiapan untuk keperluan ini Belanda mengadakan Blokade terhadap pantai Aceh dengan menggunakan angkatan lautnya untuk menghalangi kerajaan Aceh berhubungan dengan dunia luar.

Pada tanggal 9 Desenber 1873 pasukan Belanda tersebut telah mendarat di Aceh, tepatnya di daerah Kuala Lue. Kedatangan pasukan tersebut disambut dengan tembakan senapan-senapan dari para pejuang Aceh. Para pejuang Aceh tahu akan tujuan dari datangnya pasukan Belanda tersebut yaitu akan merebut istana, maka mereka segera memperkuat pertahanan istana. Berbagai bantuan datang dari berbagai daerah di Aceh untuk memperkuat barisan pertahanan di istana Aceh. Pertarungan yang tak kalah sengitnya juga terjadi di daerah masjid raya, karena Belanda juga berusaha menduduki daerah mesjid raya tetapi pasukan lebih dipusatkan di daerah istana. Usaha rakyat Aceh untuk memepertahankan istana dari genggaman Belanda akhirnya mengalami kekalahan juga, istana akhirnya istana diduduki oleh Belanda pada tanggal 24 Januari 1874 tetapi Sultan dan juga seluruh orang-orang istana telah mengosongkan istana pada tanggal 15 Januari 1874 dan menyingkir ke Luengbata. Akhirnya daerah tersebut dijadikan kedudukan yang baru oleh sultan, usaha dari Jenderal Van Swieten untuk menangkap sultan selalu gagal dikarenakan sultan dan para panglimanya terus bertekad untuk mengadakan perlawanan terhadap Belanda walaupun istana telah diduduki oleh Belanda. Suatu keadaan yang tidak disangka telah terjadi, yaitu sultan telah terserang wabah kolera sehingga meninggal pada tanggal 28 Januari 1874.[7]

Dengan meninggalnya sultan maka beberapa panglima sagi bersepakat bahwa yang akan meneruskan kesultanan adalah putra sultan almarhum, Muhammad Daudsyah. Merasa telah menguasai istana membuat Belanda telah menguasai Aceh, oleh karenanya Jenderal Van Swieten mengeluarkan proklamasi , bahwa Aceh telah mereka kuasai pada tanggal 31 Januari 1874, tetapi adanya keberadaan dari proklamasi tersebut tidak dihiraukan oleh para pejuang Aceh yang masih dengan gigih mempertahankan daerah mereka, terbukti dengan masih adanya perlawanan-perlawanan yang mereka lakukan terhadap Belanda di daerah-daerah. Belanda menyangka bahwa dengan menduduki dalam dan sebagian kecil daerah Aceh besar serta dengan secarik kertas proklamasi sudah cukup untuk membuat negeri Aceh yang selebihnya bertekuk lutut. Yang terjadi ialah perlawanan di Aceh semakin meningkat.[8]

Tidak semua daerah di Aceh melakukan perlawanan kepada Belanda, ada juga daerah yang cenderung memihak kepada Belanda, misalnya daerah Meuraksa dengan kepala di daerah tersebut Teuku Ne’ yang lebih memihak Belanda daripada mengadakan perlawanan, daerah Meuraksa adalah daerah pantai yang mungkin merasa rugi bila mengadakan perlawanan dikarenakan daerah pantai akan merasa kesulitan jika Belanda mengadakan blokade-blokade terhadap perdagangan. Banyak juga daerah di sebagian Aceh utara atau Aceh timur yang mengadakan perjanjian-perjanjian damai dengan Belanda dan mengakui kekuasaan dari Pemerintah Belanda, tetapi Belanda tahu mereka yang megadakan perjanjian tersebut tidak sepenuhnya mengakui kedaulatan Pemerintah Belanda dan sepenuhnya tunduk kepada Belanda.

Pada tanggal 20 April 1874 Jenderal Van Swieten diganti Mayor Jenderal J.L.J.H. Pel. Jenderal yang baru ini merencanakan untuk menguasai daerah-daerah Krueng Raba dan Krueng Raya dengan maksud untuk dapat membangun garis pertahanan melalui daerah sagi XXVI Mukim.[9] Ini berguna untuk mendirikan sebuah garis pos melalui Aceh besar denagn harapan dapat memutuskan hubungan Aceh Besar dengan laut. Dengan demikian diharapkan arti politik Acehterhadap dunia luar akan lenyap, sedangkan dalam bidang perniagaan akan tergantung kepada Belanda.  Selama pimpinan dipegang oleh Jenderal Pel banyak daerah di Aceh yang mulai direbut  oleh Belanda  diantaranya Olee lee, Nangrue, Punge Blang Cut, Lamara Uleyo, Kuta Alam, Lamara dan Lainnya. Akhirnya kubu Belanda mendapat  pukulan setelah pasukan Aceh yang menyerang kubu Belanda di Tunga berhasil menembak Jenderal Pel sehingga ia tewas. Usaha Belanda selanjutnya adalah mengutamakan untuk memeperkuat lini penutup ( afsluitingslinie ) di daerah yang telah Belanda kuasai.

Ada banyak kelemahan yang menyebabkan perjuangan rakyat Aceh mendapat mendapat halangan yaitu terjadi peperangan antara daerah Aceh sendiri, antara mereka yang bersikap memihak Belanda dengan mereka yang menentang Belanda, seperti yang terjadi antara negeri Simpang Ulim dan Tanjung Seumantok di satu pihak dan Keureutu yang memihak kepada Belanda di lain pihak.

Kedatangan Habib Abdurrahman dari Turki pada bulan Maret 1879 membuat perlawanan rakyat Aceh semakin giat. Penyerangan lebih dititik beratkan kepada penyerangan kepada benteng-benteng Belanda. Penyerangan Habib terutama bertujuan untuk mengacaukan dan memperlemah pos-pos Belanda yang merupakan lini penutup ( afsluitingslinie ). Selain penyerangan terhadap pos-pos militer dan pencegatan terhadap konvoi  pasukan Belanda, dilakukan pula perusakan  terhadap bangunan-bangunan militer.

Selama kemimpinan dari Habib Abdurrahman banyak kesulitan yang ditimpa oleh Belanda dikarenakan mendapat perlawanan yang sangat sengai dari para rakyat Aceh yang dipimpin oleh Habib Abdurrahman. Suatu hal yang sedikit banyak memperlemah kekuatan pihak Aceh antara lain menyerahnya Habib Abdurrahman pada tanggal 13 Oktober 1878.[10]  Menyerahnya Habib Abdurrahman kemungkinan dikarenakan markas besarnya di Montasik telah direbut oleh Belanda dan karena kekalahannya dealam pertempurannya di Longi.

Pada  tahun 1884 sultan Muhammad Daudsyah telah dewasa dan dengan dukungan Mangkubumi Tuanku Hasyim dan para ulama antara lain Teungku Cik Di Tiro telah aktif melakukan tugas sebagai sultan Aceh dengan berkedudukan di Keumala. Dalam masa pemerintahan sultan ini perlawanan terhadap Belanda terus ditingkatkan, pertempuran yang menyebar di berbagai daerah di Aceh membuktikan bahwa perlawanan rakyat Aceh cukup sulit untuk ditaklukkan Belanda dalam masa yang singkat. Akhirnya Belanda menyadari bahwa penaklukkan Aceh dengan kekuatan senjata tidak akan berhasil, Belanda berusaha mencari jalan lain yaitu dengan cara memikat pemimpin-pemimpin pejuang Aceh. Teuku Umar sendiri menyerah kepada Belanda, tetapi karena tidak puas dengan perlakuan Belanda pada dirinya, ia kemudian melakukan perlawanan kembali terhadap Belanda. Belanda berusaha pula untuk mendekati pemimpn pejuang Aceh yang lainnya diantaranya Teungku Cik Di Tiro, Panglima Polim dan lainnya. Tetapi dikarenakan sikap keras Teungku Cik Di Tiro dan keyakinannya yang kuat dalam soal agama tidak dapat dilunakkan oleh Belanda.

Untuk menaklukkan Aceh, Belanda akhirnya menempuh cara lain yaitu dengan jalan mengetahui rahasia kekuatan Aceh terurtama yang menyangkut kehidupan sosial budayanya. Dr snouck Hurgronjae yang paham tentang agama Islam dan pernah mempunyai pengalaman bergaul dengan orang-orang Aceh yang naik haji di Mekkah, oleh Pemerintah Hindia Belanda dipandang sebagai seorang yang tepat untuk diberi tugas memecahkan kesulitan-kesulitan yang menyangkut masalah penaklukan Aceh. Dari tahun 1891 sampai denagn 1906 dia menjadi penasihat utama dari pemerintah Kolonial Belanda dalam masalah Islam dan masalah penduduk asli Indonesia.[11] Dengan nama samaran Abdul Gafar ia bertempat tinggal ditegah-tengah rakyat Aceh di Peukan Aceh. Dari hasil penelitian Snouck Hurgronje dapat diketahui bahwa Sultan Aceh tidak dapat berbuat apa-apa apabila tidak mendapat persetujuan dari kepala-kepala bawahannya. Dengan demikian meskipun telah menundukkan sultan tidak berarti bahwa kepala-kepala bawahan dengan sendirinya akan tunduk, juga pengaruh dari para ulama-ulama sangat kuat pada rakyat, oleh karenanya akan sulit untuk menundukkan perlawanan rakyat Aceh yang kuat akan keyakinan agama tersebut. Snouck Hurgronje menyatakan bahwa tidak ada satupun yang dapat diperbuat untuk meredakan perlawanan yang fanatik dari kaum ulama, jadi mereka harus ditumpas sampai habis dan pemerintah Belanda harus mengandalkan kepada uleebalang ( yang dilihat sebagai para pemimpin adat atau ‘sekuler’ ).[12] Belanda mencari-cari kaum uleebalang yang mau diajak untuk bekerjasama, yang mereka anggap setaraf dengan para bupati Jawa, para pemimpin adat yang mau mengimbangi pengaruh politik Islam.

Sementara itu Panglima Polim dan Sultan tetap mengadakan perlawanan terhadap Belanda, meskipun tempatnya berpindah-pindah. Penculikan istri Sultan oleh Belanda, demikian pula dengan tekanan-tekanan yang semakin berat dari pasukan Belanda, menyebabkan Sultan mengambil keputusan untuk menyerah. Upacara penyerahan Sultan kepada Belanda dilakukan pada tanggal 20 Januari 1903.[13] Pemerintah Kolonial Belanda juga menggunakan siasat yang sama terhadap Panglima Polim, istri, ibu dan anak-anak Panglima Polim ditangkap oleh Belanda.

Keadaan yang mendesak ini memaksa Panglima Polim bersama pengikutnya sebanyak 150 orang menyerah pada tanggal 6 September 1903.[14] Dengan kejadian menyerahnya para pemimpin perlawanan rakyat Aceh terhadap Belanda maka perlawanan rakyat Aceh ini menjadi sangat lemah dan memudahkan Belanda untuk menanamkan kekuasaannya di daerah Aceh seluruhnya . Hal ini tidak berarti bahwa penentangan terhadap Belanda telah lenyap sama sekali. Ini dibuktikan dengan masih sering terjadinya perlawanan-perlawanan rakyat Aceh terhadap Pemerintah Kolonial Belanda pada saat sesudahnya. Setelah hampir 1/5 abad berperang ( 1891 ) Belanda kehilangan 200 juta florin, 1.280 orang tewas dan 5.287 luka-luka.[15] Perang yang terjadi antara tahun 1973 – 1903 di daerah Aceh ini merupakan perang yang terlama dan termahal yang pernah ada di Indonesia.


[1] Sartono Kartodirjo, Sejarah Nasional Indonesia IV, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1976, hal 211.

[2] Ibid., hal 212.

[3] M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Gajah Mada University Press, Yogyakarta,1991, hal. 220

[4] Sartono Kartodirjo,  Loc. Cit.,

[5] Ibid., hal. 213

[6] Ibid.,hal 213

[7] Ibid.,  hal 214

[8] Gerlach, De Tweede Expeditie, hal 65-70, dan 442 Seperti dikutip dalam buku Perang di Jalan Allah, Ibrahim Alfian, hal 68.

[9] Sartono Kartodirjo,Op Cit., hal 215

[10] Ibid., hal 217

[11] M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Gajah Mada University Press, Yogyakarta,1991, hal. 221

[12] Ibid., hal 221

[13] Sartono Kartodirjo, Sejarah Nasional Indonesia IV, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1976, hal 223.

[14] Ibid., hal 223

[15] Ibrahim Alfian., Perang di Jalan Allah, Pustaka Sinar Harapan., 1987 , hal 82.

Pembabagan Masa

Tarikh Bumi

            Dalam mempelajari sejarah kebudayaan kita harus terlebih dahulu mempelajari manusia sebagai penghasil kebudayaan itu sendiri, untuk itu kita perlu meninjau tarikh bumi. Menurut Geologi waktu di dunia dibagi menjadi jaman-jaman sebagai bereikut ;

1. Archaeikum ; jaman yang tertua, berlangsung kiara-kira 2.500 juta tahun. Pada akhir jaman ini nampak adanya kehidupan sedikit demi sedikit.

2. Paleozoikum ; jaman hidup pertengahan, berlangsung kira-kira 140 juta tahun. Pada jaman ini hewan-hewan mengalami perekembanagan yang sangat pesat

3. Neozoikum atau Kainozoikum ; jaman hidup baru, berlangsung kira-kira 60 juta tahun yang lalu sampai sekarang. Jaman ini di bagi menjadi ;

A. Tertiair, jaman dimana munculnya primate dana kera yang menyurupai manusia.

B.  Quatair, pada jaman inilah muncul manusia. Jaman ini dibagi menjadi ;

1. Diluvium/Pleitocen, berlangsung kira-kira 600.000 tahun, jaman ini juga disebut dengan jaman es.

2. Alluvium/Holocen, berlangsung kira-kira 20.000 tahun. Di jaman ini terdapat manusia yang dianggap sebagai nenek moyang umat manusia.

Batas-batas Prasejarah.

            Permulaan adanya kebudayaan adalah permulaan dari jaman prasejarah, sedangkan jaman prasejarah akan diakhiri ketika adanya keterangan tertulis yang sampai pada kita, dan kemudian diganti dengan jaman sejarah, jadi prasejarah adalah ilmu yang mempelajari manusia serta peradabannya sejak dari jaman permulaan adanya manusia sampai kepada jaman sejarah. pada jaman 5 Masehi, bangsa kita memasuki masa sejarah karena sudah ada keterangan tertulis berupa prasasti-prasasti yang sampai pada kita. Suatu bangsa tidak akan langsung berpindah dari masa prasejarah ke sejarah, namun ada masa peralihan yang disebut dengan proto sejarah.

 

 

Pembagian Jaman Prasejarah.

            Pembagian parsejarah menurut Arkeologi (ilmu yang mempelajari hasil-hasil kebendaan dari kebudayaan-kebudayaan silam), yaitu didasarkan atas bahan-bahan berupa peninggalan dari kebudayaan manusia itu sendiri. Benda peninggalan itu antara lain, batu dan logam.

Jaman Batu ;

1. Paleolithikum (batu tua); ciri-cirinya adalah alat-alatnya dikerjakan secara kasar.

2. Mesolithikum (batu tengah); ciri-cirinya adalah orang sudah mulai bertempat tinggal.

3. Neolithikum (batu muda); cirri-cirinya adalah alat dari batu sudah dikerjakan secara halus dan manusianya sudah bisa bercocok tanam.

Jaman Logam

1. Jaman Tembaga, di jaman ini manusia membuat alat-alatnya dengan bahan dasar tembaga.

2. Jaman Perunggu, di jaman ini orang sudah mendapatkan logam campuran yang berasal dari tembaga dan timah yang lebih kuat untuk membuat alat-alat mereka.

3. Jaman Besi, di jaman ini orang telah mampu melebur besi dari bijih besinya untuk dituang menjadi alat-alat mereka. (jaman akhir prasejarah)

PALEOLITHIKUM

            Di indonesia temuan yang pertama yang menjadi pangkal penelitian-penelitian manusia purba ialah temuan dari E. Dubois yang disebut Pithecanthropus Erectus, di Trinil tahun 1980. makhluk ini berada diantara manusia dan kera yang berada di pleistocen tengah. Von KOeningswald membagi diluvium lembah sungai Bengawan Solo menjadi tiga lapisan yaitu, lapisan Jetis (pleistocen bawah), lapisan Trinil (lapisan tengah), dan lapisan Ngandong (pleistocen atas). Makhluk yang mengisi pleistocen bawah adalah Pithecanthropus Robustus dan Pithecanthropus Mojokertensis, sedangkan di jaman pleitocen atas, makhluk adalah Homa Wajakensis san dan Homo Soloensis.

 

Kebudayaan-kebudayaan Pertama.

Kebudayaan yang tertua di Indonesia dibagi menjadi dua yaitu,

A. Kebudayaan Pacitan

            Disini ditemukan sejumlah alat-alat batu yang diantaranya masih kasar dalam pengerjaannya. Alat-lat ini diduga milik dari kebudayaan Pithecanthropus Erectus, namun semua itu masih disangsikan.

B. Kebudayaan Ngandong.

            Alat-lat yang ditemukan disini berasal dari pleistocen atas, maka mungkin pemilik kebudayaan ini adalah Homo Wajakensis dan Homo Soloensis.

Dari semua alat-alat yang ditemukan difungsikan sebagai alat berburu, maka dapat disimpilkan kehudupan manusia Paleolithikum adalah pengembaraan dari satu tempat ke tempat yang lain, sedangkan tentang kebudayaan kerohaniannya tidak banyak diketahui.

Keadaan Kepulaan Kita

            Menurut penyelidikan geologi, kepulauan kita mulai terjadi dalam pertengahan jaman tertiar. Pada akhir jaman ini laut antara jazirah Jawa dan pulau di sebelah utaranya semakin kecil, akhirnya menjadi semacam danau yang makin lama airnya makin tawar. kemudian danau ini lenyap dan timbullah tanah datar yang menghubungkan Gunung sewu dan pegunungan Kendeng, Dijaman Quartair, muncul jenis manusia yaitu Meganthropus dan Pithecanthropus Mojokertensis yang ditempatkan pada lapisan pleistocen bawah. Pada jaman pleistocen tengah es kutub mencapai luas yang sebesar-besarnya, sehingga permukaan air laut turun, dsini terjadilah Sunda-plat dan Sahul-plat. Sumartra, Jawa, Kalimantan dan Malaysia barat bergabung dengan benua Asiia, Kalimantan Utara bersambung dengan Filipina dan Formosa terus ke utara dan benua Asia. Begitu pula Sulawesi yang melalui Minahasa, Pulau Sangir ke Filipina. Ada hunbungan antara Jawa Timur dan Sulawesai selatan melalaui Nusa tenggara yang pulau-pulanya bersambungan. Untuk perpindahan manuisianya ada dua jalur yaitu, pertama melalui Malaya ke Jawa, kedua melalui Formosa, Filipina dan dari sini sebagain ke Kalimantan dan ke Jawa. Kemudian pada jaman plistocen atas, permukaan air laut najk kembali sehingga menggenangi dataran rendah. Pada jaman Holocen berakhirlah jaman es, dan air laut kembali naik lagi sehingga menggenangi daratan, dari situlah terbentuk pulau-pulau baru yang menjadi dasar kepulauan kita. Sungai-sungai membawa Lumpur ke laut, yang mengakibatkan semakin lebarnya tanah datar di pinngir paatai. Gunung-gunung berapi memuntahkan laharnya dan dengan demikian mengubah bentuk dan susunan tanah di sekitarnya.

( sumber rangkuman : Sejarah Kebudayaan Indonesia I, karangan R. Soekmono)

Kaum Samin
Sejarah dan Budaya Masyarakatnya

1. Pendahuluan
Samin, kata ini mungkin terdengar asing di masyarakat bahkan di kalangan mahasiswa pun. Kalaupun terdengar pun, mungkin yang dipahami hanya stereotip buruk mengenai masyarakat ini, entah dikatakan masih primitif ataupun ketinggalan jaman.
Kondisi boleh dikatakan Ahistoris kalau tahu sejarah kaum ini. Pada awal abad 20 kaum ini dengan berani mengguncang Hindia Belanda dengan aksi perlawannanya terhadap kekuasaan kolonial. Gerakan samin dapat dianggap sebagai salah satu gerakan sosial tradisional pasif.
Namun ada satu hal yang membedakannya dengan gerakan-gerakan petani lainya, yaitu bila biasnya gerakan-gerakan sosial sejenis ini hanya berumur singkat, tidaklah demikian dengan gerakan samin. Gerakan ini dimulai pada kira-kira akhir abad 19 dan hingga kini masih hidup.
Samin sebenarnya merupakan nama seorang tokoh Blora pada zaman colonial. Dia adalah tokoh penganjur keadilan dan gerakan tanpa kekerasan, bahkan jauh-jauh sebelum mahatma Gandhi menemukan metode Satyagraha yang terkenal tersebut.
Nama Samin ini akhirnya yang kemudian membekas menjadi gerakan anti colonial untuk menjadi saminisme. Kalaupun gerakan itu tercermin dalam politik atau tercermin dalam ekonomi sebenarnuya bukan politik dan bukan ekonomi semata-mata, tatai juga gerakan kebudayaan secara total atau Contra kultura.
Sungguh menggelikan, bahwa kaum yang dengan berani melawan kekuasaan belanda tersetereotip saangat buruk. Sebuah kewajaran memang dalam perkembanganya sebuah tokoh symbol perlawanan menjadi buruk. Dan bukan yang baru juga, kalau kelompok yang kalah dalam pertarungan tertentu (yang bersifat politik ataupun bukan) bakal mendapat diskriminasi perlakuan, sekalipun masyarakat itu sebenarnya mempunyai nilai kebudayan yang sangat humanis.
Stereotip buruk mengenai masyarakat samin ini memang sebuah fakta sosial yang seyogyanya kembali diperdebatkan dan di koreksi. Perendahan kultural yang dialami masyarakt Samin ini merupakan buah diskrimnisai yang dilakukan oleh kaum priyayi,santri dan abangan yamng merupakan lapisan sosio cultural masa itu yang berpihak pada Belanda dalam persolan pemberontakan atau paling tidak tidak berpihak kepada masyarakat Samin. Kemudian ini meluas, dan menghegemoni masyarakat Jawa pada umumnya yang sebenarnya tidak mengetai seluk beluk perjuangan masyarakat Samin.
Padahal kekuasaan colonial menindak pemberontakan itu secara fisik, dan beruasaha pula menciptakan citra negative mengenai Samin, bahwa pemberontakan itu dilakuakn oleh orang-orang bodoh yang keterlaluan hingga walaupun di buang atau dipenjara ke tanah seberang, mereka tenang-tenang saja.

2. Isi
2.1. Samin Surontiko
Keberadaan kaum Samin tidak bisa dilepaskan dari sosok Samin Surontiko. Cerita ini bermua dari sebuah desa di kecamatan Randublatung, Kabupaten Blora sekitar tahun 1859, lahirnya seorang laki-laki yang bernama Samin Surontiko. Kemudian setelah dewasa Ia menjadi seorang Petani, seperti halnya umumnya masyarakat sekitar situ yang rata-rata bermata pencaharian sebagai petani. Kehidupan sebagai petani serta lingkungan alam yang berada di sekitar hutan dan banyak areal pertania itu berperan besar dalam pembentukan wataknya yang ulet dan pekerja keras.
Sekitar tahun 1890, ia mulai menyebarkan ajaranya kepada orang-orang sedesanya. Ia banyak melakukan tapa (perenungan) dan menghasilkan sebuah pemikiran yang progresif pada masa itu. Ajaranya mendapat sambutan baik dan segera memikat orang banyak dari desa-desa sekitarnya bahkan hingga meluas di blora dan sekitarnya.
Semula ajaran ini tidak segera menarik minat dan menimbulkan persolan bagi pemerintah kolonial. Tetapi kemudian sekitar tahun 1905 terjadi perubahan, karena pengikut Samin mulai menarik diri dari kehidupan umum desanya, menolak memberikan sumbangan kepada lumbung dan menggembalakan ternaknya dengan tenak yang lain.
Memang mereka masih mau membayar pajak, tapi menurut anggapan mereka itu bukan kewajiban melainkan sukarela. Namun Samin Surontiko sendiri menghentikan pembayaran pajak pajak, walaupun tidak menganjurkan kepada pengikutnya untuk berbuat demikian, karena menurutnya mereka belum bersih untuk dapat berbuat demikian.
Tahun 1907 kontolir Belanda mendengar bahwa tanggal 1 maret orang Samin akan mengadakan pemberontakan. Ia pun mohon kepada atasanya untuk mengirimkan pasukan. Namun permintaan ini di tolak, akhirnya ia sendiri melakuakn penangkapan atas sejumlah orang samin dalam sebuah hajatan. Samin Surontiko sendiri tidak di tangkap waktu itu.
Baru beberapa hari kemudian aia menerima panggilan dari Bupati utnuk dating ke Rembang dan di sana ia di tangkap. Sesudah di periksa, samin dan delapan orang pengikutnya di buang ke Sumatera (walaupun tidak cukup bukti kalau dia akan melakukan pemberontakan.) dan meninggal diPadang pada tahun 1914.
Dengan Kepergian Surontiko, gerakan samin mengalami pukulan agak terhambat perkembanganya. Akan tetapi terus hidup walaupun berkembang dengan lambat. Di madiun seorang Wongsorejo mulai menyebarkan ajaran ini disana. Di Grobogan ajaran ini disebaarkan leh surohidin dan pak engkrak.

2.2..Ajaran Saminisme
Sampai sekarang masih terdapat dua pendapat, para ahli berpendapat Samin tidak meninggalkan ajaran tertulis, sedangkan orang Blora sendiri menyebutkan ada kitab suci. Anggapan orang Blora itu tidak mengherankan, karena masuk akllah apabila sebuah ajaran dijelaskan dalam sebuah pegangan yang pasti, seperti halnya ajaran-ajaran lain.
Melihat kayanya Samin Surontiko, ada kemungkinan pula bahwa ia menguasai ilmu baca tulis. Apalagi Saminisme ( ajaran yang disebarkan Samin Surontiko dan kemudian dikembangkan pengikutnya) adalah suatu ajaran yang tidak semata-mata bersifat ekonomis saja seperti yang digambarkan dalam uraian sin gkat di atas. Pemerintah Hindia belanda dalam menggulangi memang digerakkan oleh alasan ekonomi saja.
Memang, seperti halnya gerakan-gerakan lain dijaman itu dan sebelumnya ia kaitkan dengan harapan akan datanya zaman gemilang,zaman emas, zaman sama rasa sama rata, zaman ratu adil atau apapun yang senada dengan itu. Harapan atau cita-cita itulah yang meneguhkan semangat perjuangan cultural masyarakat Samin.
Kalaupun pemberontakan ini semata-mata pemberontakan ekonomi (dengan embel-embel mesianisme atau milliniarisme), mustahil ia dapat bertahan demikian lama bahkan higga sekarang kalau gerakan ini tidak bersandarkan pada sebuah kultur yang kuat dan mengakar.
Untuk mengetahui kultur yang dimiliki kaum Samin, mau tidak mau kita harus hubungkan denga kondisi gerografis dimana kaum kebanyakan tinggal. Kaum ini kebanyakan berada di daerah Blora dan di daerah lainya seperti Bojoegoro, Pati, rembang dan sekitarnya. Banyaknya pengikut Samin di Blora hal yang wajar, karena memang didaerah inilah ajaran Samin pertam,a kali lahir dan berkembang.
Kaum Samin biasanya bertempat tinggal antara hutan dengan lading pertanian, dan kebetulan daerah itu kebanyakan adalah hutan jati Oleh karenanya hutan merupakan salah satu elemen utama pembentuk watak dan karakter kaum Samin. Mereka adalahn orang-orang introvert yang banyak merenung, namun tabah menghadapi tempaan kehidupan. Karena mereka terbiasa hidup sendiri secara berdikari, setiap usaha yng hendak mencampuri urusan yang bersifat pribadi akan mendapat tentangan keras.
Kekuasaan kolonial selamanya dianggap terlampau bercampur tangan dalam kehidupan pribadi mereka. Maka tidak heran kalau daerah ini tidak pernah sepi dari gerakan perlawanan. Jika yang bebas dan berdikari tidak mau tunduk kepada kekuasaan yang lalim dan sewenang-wenang. Dan karena kekuasaan itu selalu lebih kuat, maka jiwa itupun menarik diri dan membungkus diri, untuk sewaktu-waktu diletuskan kembali dalam berbagai bentuk yang mungkin.
Sikap kaum samin itu dengan demikian bukan sekedar sikap ekonomi. Ia adalah sikap hidup yang total, sikap hidup suatu kebudayaan. Pemberontakanya terhadap colonial Belanda adalah sebabagian saja dari sikap umumnya terhadap unsure luar yang hendak menggganggu sikap hidup mereka.
Bahwa orang Samin sendiri tidak mengagung-agungkan pemimpinya. Yang mereka agungkan adalah sikap hidup kebudayaan mereka, yang dapat disimpulkan merupakan akhlak yang terpuji. Ini sejajar sekali dengan ajaran mereka, bahwa semua manusia itu sama, sama kelahiranya, samam kebutuhanya dan tujuanya. Karena itu tidak adalah sebab yang mengharuskan orang membeda-bedakan manusia.
Semua manusia adalah saudara (sedulur) dan harus tolong-menolong. Karena itu pula tidak dikenal tingkat-tingkat bahasa jowo seperti ngoko, madya, kromo. Semua pembicaraan dilakukan dalam ngoko. Sebuah sikap egaliter dari sebua masyarakat yang dikatakan banyak orang primitive dan tidak beradab.
Orang samin mempunyai kepercayaan “ Tuhan itu ada dalam diri sendiri” dan penyelamat dari siksaan adalah diri mereka sendiri. Selain itu mereka juga tidak percaya adanya surga dan neraka. Konsep ini hamper sama dengan kejawen atau kebatinan jawa yang menjadi cita ideal dalam pandangan hidup para penganutnya adalah pertemuan atau persatuan antara hamba dan tuhanya.
Perkawinan pada masyarakat Samin dianggap sacral dan suci. Dan kaum wanita dijunjung tinggi. Suatu sifat dari ajaran samin adalah ajaran tentang etika yang dilaksanakan ketat sekali. M,ereka cenderung menganut sifat puritan dimana pengikutnya dilarang keras mencuri, berbohong, berjinah.
Sebaliknya mereka dianjurkan untuk bekerja dengan rajin, untuk sabar, jujur dan murah hati. Dan ternyata mereka hidup rukun dan damai. Aturan-aturan moral yang mendasari kehidupan masyarakat samin juga merupakan suatu mekanisme dalam membina solidaritas kelompok.
Kalau boleh di rimgkas ada beberapa aspek dari sikap orang samin yang patut dicatat , yaitu tanpa kekerasan, rajin, jujur dan berhasil sebagai petani, serta menghargai sesamanya sederajat, termasuk kaum wanita,

2.3.. Peranan Hutan
Baik di waktu meletusnya pemberontakann samin higga waktu ini, pengikut Samin tinggal di pinggiran jati yang berbatasan dengan daerah pertanian. Mereka hidup di dua alam itu, itulah alam yang mereka kenal dan dua-duanya vital bagi mereka.
Pengertian orang Samin mengenai Hutan dapat dirumuskan secara singkat : “ Hutan adalalah warisan nenek moyang, dan anak cucu berhak atas pemakainanya.” Atau dengan kata mereka sendiri: lemah podo duwe, banyu podo duwe, kayu podo duwe (Tanah, air dan kayu milik orang banyak).
Semangat itu merupakan cerminan karakter sosial kaum Samin yang menyandarkan pada kebersamaan dan komunalisme. Sebuah konsep yang sangat radikal dan progresif dalam masalah Agraria dan Lingkungan pada era itu bahkan sekarang pun.
Selain itu pemikiran ini menggambarkan pertautan yang erat antara manusia dan alam, yang mana keduanya harus hidup selaras dan manusia tidak seenaknya mengeksploitasi alam. Sebuah sikap dan perilaku yang menunjukan penghargan yang tinggi terhadap alam.
Titik balik penting dalam persolan hutan adalah ketika pemerintah kolonial memberlakukan Undang-undang Agraria ( Agrarische Wet ) tahun 1870, di mana pemerintah kolonial melakukan perampasan tanah yang di istilahkan dengan Woeste gronden (tanah-tanah tak di olah), dan memberikan jalan bagi masuknya modal perkebunan eropa dengan antara lain menyediakan tanah Erfpacht (sewa).
Undang-undang itu disusul dengan peraturan lain mengenai eksploitasi hutan untuk Jawa dan madura 1874 dan ordonansi-ordonansi lain yang bertubi-tubi dan makin lama makin mengetatkan eksploitasi dan sebaliknya makin menghimpit kehidupan petani di tepiu hutan.
Berkembangnya Industri jati di sekitar Blora sebaliknya merupakan maut bagi penduduk Blora yang hidup di tepim hutan. Mereka terkena rodi hutan yang terkenal dengan nama “blandongan”. Desa-desa menjadi kamp konsentrasi kerja paksa. Untuk melaksanakan tuntutan rodi dalam jumlah bulan tertentu, mereka terpaksa meninggalkan rumah, sawah dan lading.
Mereka harus melakukan kerja rodi yang diterapkan oleh gubernermen. Harus kerja paksa untuyk tuan tanah partikelir dimana mereka tinggal. Harus kerja rodi untuk pegawai pamongpraja pegawai colonial bumiputera. Dan mereka harus m,engerjakan tanah sendiri. Dan akhirnya kebanyakan tanah mereka malah jarang terurus karena tidak lagi tersisa waktu.

2.4. Perlawanan tanpa kekerasan
Ciri utama pemberontakan Samin adalah sifat perlawanan tanpa kekerasan. Sebagai sebuah perlawanan individual cara ini mungkin umum, tapi tidak demikian kalau dilakukan secara kemasyarakatan apalagi secara politik. Dunia belum pernah menyaksikan praktek ini, dan inilah jasa Samin Surontiko kepada (kalau hendak di nyatakan demikian) dunia mempraktekkan sebuah bentuk protes tanpa mengedepankan kekerasan.
Kemungkinan cara ini ini tidak semula di ajarkan oleh Samin sendiri. Pada awalnya sebagai sebuah gerakan semula tidak mendapat respon dari penguasa, tapi begitu ajaran itu diterapkan, reaksi penguasa seketika jelas. Represifitas dilakuakbn pemerintah colonial untuk menekan dan menghancurkan gerakan ini. Dan yang mempraktekan pertama kali Samin sendiri.
Samin mengerti benar bahwa cara ini harus dilakuakan dengan keteguhan hati, itu sebabnya membutuhkan persiapan den kematangan dari pelakunya. Dan cara ini menuntut pengorbanan yang serba berat, disita barang miliknya, dipenjara, dibuang, paling tidak dikucilkan oleh masyarakat. Ajaran ini pada pokoknya kemudian dilaksankan oleh kaum Samin dan itulah yang menjadi trade maerk saminisme, walaupun kadang-kadang memang kekerasan masih terjadi.
Mengherankan bahwa bertahun-tahun sesudah itu (diawali pada tahun 1908) Mahatma Gandhi, pemimpin rakyat India yang waktu itu masih masih berada di Afrika Selatan, mulai mempraktekan cara itu dalam perjuanganya melawan kolonialisme. Memang dalam otobiografinya ia menyatakan bahwa sesungguhnya cara itu sudah lahir sebelum ia mengetahui namanya dan banyak pengalamn yang harus dilalui dahulu sebelum akhirnya melakukan dengan sadar.
Orang Samin bukanlah orang berpendidikan, tapi cara perlawanan yang mereka tempuh cukup unik. Misalnya, pada waktu mereka mendapat perintah memindahkan onggokan batu, mereka pindahkan sebuah saja. Pada waktu mereka disuruh mengangkat kayu, mereka angkat kayu itu, tanpa membawanya kemanapun. Ketika diminta cap tanganya untuk surat tertentu, mereka menjawab sudah ada yang mesti mereka cap sendiri, yaitu istrinya,
Cara perlawanaan ini membutuhkan keberanian Luar buiasa bahkan militansi. Dan militansi itu sudah di buktikan asepanjang sejarah perlawanan Samin yang panjang itu.
Ada satu aspek lain dari gerakan samin yang cukup penting juga. Sesungguhnya gerakan ini tidak homogen. Setelah Surontiko di buang, para pemimpin lainya yang meneruskan ajaranya mempunyai pandangan-pandanan yang berbeda. Misalnya, orang Samin di grobogan ada yang masih menganut Islam dan tidak membangkang pada pemerintah.
Kemudian kelompok yang berdiam di wonokerto melakuakn kerja rodi, tetapi masih bersedia membayar pajak, sedangkat pengikut masih mau berhubunagn dengan pemerintah walaupun enggan membayar pajak dan melakukan kerja rodi.Hanya pak Engkrak yang dapat dianggap paling keras sikapnya, karena dia Dan pengikutnya sama sekali menolak hubunagan dengan pemerintah dan tidak mau menuruti kewajiban-kewajiban pemerintah.
3.Kesimpulan
Kaum samin. Ya, nama sebuah kelompok yang selama ini termarginalkan dan tersisihkan lembaran-lembaran sejarah atau kebudayaan. Citra yang muncul mengenai keberadaan mereka pun lebih banyak merendahkan daripada mengakui bahwa Samin mempunyai nilai budaya local yang luhur dan sang humanis. Bahwa kaum ini di gambarkan sangat tertutup ataupun ketinggalan jaman. Namun di balik itu semua, kaum ini dalam proses perrjalan sejarahnya (walaupun jarang di tulis dalam buku sejarah ataupun kebudayaan) menorehkan sebuah lembaran sejarah yang besar. Kaum ini melakukan sebuah perlawanan atau dalam bahasanya pemerintah Kolonial adalah “Pemberontakan”.
Perlawanan yang di lakuakan kaum ini boleh dikatakan tergolong sangat unik dan menarik. Sebagai sebuah bentuk protes, gerakan berbeda sekali dengan pola umum yang ada. Kalau pada umumnya sebuah gerakan perlawanan itu mengedepankan kekerasan, kaum ini tidak. Mereka menyandarkan diri pada perlawanan tanpa kekerasan.
Perlawanan ini tidak bisa dipandang hanya sebuah konflik berdasar persoalan ekonomi saja namun juga perjuangan kebuadayaan yang mana menuntut kesadaran tinggi dari Individu. Bagi mereka telah terjadi pelemahan atau penghancuran kultur yang dilakuakan oleh pemerintah colonial Sehingga resistensinya sangat keras, dan berlangsung sangat lama.
Persoalan kebuadayaan ini dapat dilihat cara pandangnya, yang cenderung tidak mengakui pemerintah. Bagi mereka tanah, Air atau Hutan yang ada di sekitarnya merupakan milik komunal, dan mereka bisa mengelola tanpa campur tangan pihak colonial. Sebuah pemikiran yang menampar pemerintah colonial karena kaum ini tidak mau mengakuinya, yang terbukti dengan keenggenan mereka untuk tidak membayar pajak.
Gerakan ini merupakan salah satu gerakan sosial tradisional pasif yang dilakukan oleh petani-petani pedesaan, yang bertahan cukup lama. Salah satu faktornya adalah gerakan ini mempunya basis cultural yang berakar dengan kuat. Sehingga walaupun di represif perlawanan mereka tidak padaklah padam total namun hanya menunggu saat yang tepat untuk meledak kembali.

Daftar Pustaka

1. Lembar Kerja Komunitas Super Samin, Blora.
2. Nugroho Notosusanto dkk, 1984.”Sejarah Nasional Indonesia IV”. Jakarta : Balai Pustaka, 11 Agustus 1984.
3. Prisma, no. 8. Agustus 1987.